Bisakah Barat Melepas Kurungan China Atas Logam Tanah? Pada 30 Oktober 2025, kesepakatan dagang sementara antara Presiden China Xi Jinping dan Presiden AS Donald Trump membawa angin segar bagi rantai pasok global, termasuk penundaan satu tahun atas rencana kontrol ekspor logam tanah jarang China. Langkah ini, yang menunda pemberlakuan aturan baru mulai November mendatang, memberi napas lega bagi industri Barat yang bergantung pada elemen-elemen kritis ini untuk baterai kendaraan listrik, turbin angin, dan peralatan militer. Namun, di balik jeda sementara itu, pertanyaan besar tetap menggantung: bisakah negara-negara Barat benar-benar melepas kurungan dominasi Beijing atas logam tanah jarang? China saat ini menguasai 60-70% produksi tambang dan hingga 90% pemrosesan global, membuatnya seperti keran yang bisa ditutup kapan saja. Kesepakatan ini, meski positif, hanyalah pereda gejala, bukan obat penyembuh. Di tengah transisi energi hijau dan persaingan teknologi, Barat kini dihadapkan pada pilihan sulit: bergantung selamanya atau bangun kemandirian yang mahal dan panjang. INFO CASINO
Dominasi China yang Sulit Digoyahkan: Bisakah Barat Melepas Kurungan China Atas Logam Tanah?
China tak secara kebetulan menjadi raja logam tanah jarang. Sejak 1990-an, Beijing berinvestasi masif di wilayah Bayan Obo, Mongolia Dalam, yang menyimpan cadangan terbesar dunia. Kebijakan subsidi rendah dan regulasi lingkungan longgar memungkinkan biaya produksi mereka rendah, memaksa penambang Barat tutup operasi satu per satu. Kini, dari 17 elemen logam tanah jarang—seperti neodymium untuk magnet kuat hingga dysprosium untuk pendingin nuklir—China tangani 85% pemurnian global. Ini bukan monopoli alamiah; pemerintah pusat atur kuota ekspor ketat, sering gunakan sebagai senjata diplomatik. Pada April lalu, misalnya, pembatasan tujuh elemen kunci jadi balasan atas tarif Trump, memicu kenaikan harga hingga 40% di pasar global. Bagi Barat, ketergantungan ini berbahaya: AS impor 80% kebutuhannya dari China, sementara Eropa bergantung untuk target netral karbon 2050. Tanpa logam ini, proyek angin lepas pantai di Inggris atau jet tempur F-35 di AS bisa terhenti. Dominasi ini lahir dari strategi jangka panjang: China tak hanya tambang, tapi juga kuasai rantai pasok penuh, dari ekstraksi hingga produk akhir seperti motor listrik.
Upaya Diversifikasi Barat yang Mulai Berbuah: Bisakah Barat Melepas Kurungan China Atas Logam Tanah?
Barat tak diam saja. AS, di bawah undang-undang CHIPS and Science Act, alokasikan miliaran dolar untuk proyek domestik seperti tambang Mountain Pass di California, yang kini produksi 15% kebutuhan nasional setelah restart 2018. Australia, mitra dekat, kembangkan fasilitas Lynas di Malaysia untuk pemurnian bebas China, sementara Kanada pimpin inisiatif G7 baru untuk aliansi mineral kritis, fokus pada penambangan berkelanjutan di Arktik. Eropa, melalui Critical Raw Materials Act, targetkan 10% produksi internal pada 2030, dengan proyek di Swedia dan Greenland. Jepang, pelopor diversifikasi, stokpile cadangan hingga enam bulan dan investasi di Vietnam untuk tambang baru. Namun, tantangannya nyata: proses lingkungan ketat butuh 5-10 tahun, biaya pemurnian dua kali lipat dari China, dan kekurangan tenaga ahli. Goldman Sachs perkirakan, butuh satu dekade penuh untuk kurangi ketergantungan di bawah 50%. Meski begitu, kemajuan ada: ekspor non-China naik 20% tahun ini, dan kesepakatan bilateral dengan Australia-AS percepat transfer teknologi. Upaya ini tunjukkan tekad, tapi juga realitas: diversifikasi bukan tombol saklar, melainkan maraton melewati hambatan regulasi dan investasi.
Implikasi Kesepakatan Trump-Xi dan Risiko Jangka Panjang
Kesepakatan 30 Oktober beri jeda berharga, dengan China tunda kontrol ekspor dan AS buka akses rare earth tanpa kuota ketat, bagian dari paket dagang yang potong tarif 25%. Ini stabilkan harga—indeks logam tanah jarang turun 15% sehari itu—dan beri waktu bagi pabrik baterai di Jerman atau chip di Taiwan. Bagi Trump, ini kemenangan “America First”, kurangi ancaman blokade seperti 2010 saat China potong pasok ke Jepang. Xi, di sisi lain, gunakan ini untuk jaga stabilitas ekonomi domestik, di mana sektor logam tanah jarang sumbang 2% PDB. Tapi implikasinya ganda: sementara jeda ini dorong investasi Barat, ia juga beri Beijing ruang perkuat dominasi melalui akuisisi tambang di Afrika. Risiko lingkungan tak kalah penting—penambangan logam tanah jarang polusi berat, dan standar Barat yang tinggi bisa bikin proyek lambat, sementara China abaikan dampak di wilayahnya. Secara geopolitik, aliansi G7 Kanada bisa percepat diversifikasi, tapi tanpa kerjasama dengan India atau Brasil, upaya ini setengah hati. Pada akhirnya, kesepakatan ini obati gejala ketergantungan, tapi tak hilangkan akar masalah: permintaan global melonjak 30% per dekade, dan tanpa inovasi daur ulang atau substitusi, Barat tetap rentan.
Kesimpulan
Bisakah Barat lepas dari kurungan China atas logam tanah jarang? Jawabannya ya, tapi tak mudah—perlu waktu satu dekade, investasi triliunan, dan kerjasama lintas benua. Kesepakatan Trump-Xi beri napas, tapi ingatkan bahwa ketergantungan ini seperti tali yang longgar, siap dikencangkan kapan saja. Dengan proyek seperti Mountain Pass dan aliansi G7, Barat punya fondasi, tapi sukses tergantung kemauan politik untuk prioritaskan mineral kritis di atas untung jangka pendek. Di era transisi hijau, logam ini kunci masa depan—bukan hanya untuk gadget, tapi untuk planet yang lebih bersih. Jika Barat bertindak cepat, jeda ini bisa jadi titik balik; jika lambat, Beijing tetap pegang kendali. Yang pasti, pada 2025 ini, permainan baru dimulai, dan pemenangnya adalah yang paling gigih membangun rantai pasok mandiri.