Reaksi Rusia dan Iran Usai Trump Ingin Coba Senjata Nuklir. Pada 31 Oktober 2025, reaksi dari Rusia dan Iran terhadap pernyataan Presiden Donald Trump soal rencana uji coba senjata nuklir AS datang seperti badai yang cepat. Trump, dalam pidato di Gedung Putih sehari sebelumnya, memerintahkan Pentagon untuk memulai pengujian “setara” dengan Rusia dan China, menyebutnya sebagai langkah untuk menjaga superioritas militer. Kremlin langsung merespons dengan nada hati-hati tapi tegas, sementara Tehran mengecam keras sebagai bukti hipokrasi Washington. Di tengah ketegangan global yang sudah memuncak—dari Ukraina hingga Timur Tengah—keputusan ini tak hanya mengguncang keseimbangan nuklir, tapi juga memicu spekulasi tentang lomba senjata baru. Bagi kedua negara itu, ini bukan sekadar retorika; ini ancaman langsung yang bisa ubah peta geopolitik, memaksa mereka pertimbangkan balasan yang tak terelakkan. INFO CASINO
Reaksi Hati-Hati tapi Siap dari Rusia: Reaksi Rusia dan Iran Usai Trump Ingin Coba Senjata Nuklir
Kremlin tak buang waktu untuk tanggapi pernyataan Trump. Juru bicara Dmitry Peskov, dalam konferensi pers pagi itu, bilang Rusia “belum melakukan uji coba nuklir” sejak moratorium 1990-an, tapi tegaskan bahwa jika AS memulai, Moskow akan ikut. “Kami tak terpancing lomba senjata,” kata Peskov, “tapi kami akan bertindak sesuai kebutuhan untuk jaga keseimbangan.” Ini nada khas Rusia: tenang di permukaan, tapi penuh peringatan. Peskov sebut komentar Trump “mengganggu”, terutama karena datang saat negosiasi New START—traktat pengendalian senjata strategis—masih bergantung tipis.
Menteri Pertahanan Sergei Shoigu perkuat pesan itu dengan pernyataan terpisah, bilang Rusia siap lanjutkan tes di situs Novaya Zemlya jika AS atau sekutunya tarik diri dari traktat internasional. Shoigu ingatkan bahwa Rusia sudah modernisasi arsenalnya, termasuk rudal hipersonik Avangard dan torpedo Poseidon, tanpa perlu tes terbuka—tapi pengujian AS bisa ubah itu. Di parlemen Rusia, anggota Duma seperti Vyacheslav Volodin sebut langkah Trump “provokasi berbahaya” yang picu eskalasi, dorong usulan undang-undang untuk perkuat deteren nuklir. Reaksi ini campur: hati-hati untuk hindari kepanikan pasar global, tapi siap balas untuk tunjukkan Rusia tak lemah. Bagi Putin, yang hadapi tekanan dari Ukraina, ini jadi alat propaganda domestik—seolah AS yang agresif, bukan Moskow.
Kutukan Keras Iran atas Hipokrasi AS: Reaksi Rusia dan Iran Usai Trump Ingin Coba Senjata Nuklir
Iran, yang hubungannya dengan Trump sudah tegang sejak era sanksi dan serangan pada situs nuklirnya, langsung ledakkan kritik. Kementerian Luar Negeri Tehran sebut rencana pengujian AS sebagai “bukti munafik” dari Washington, yang sering tuduh program nuklir Iran sebagai ancaman dunia. “Mereka larang kami kembangkan energi damai, tapi sendiri mau ledakkan bom di gurun,” kata juru bicara Nasser Kanaani dalam pernyataan resmi. Ini datang di tengah luka lama: pada Juni 2025, serangan AS dan Israel hancurkan fasilitas nuklir Iran di Natanz dan Fordow, yang Tehran klaim sebagai pusat penelitian medis. Trump saat itu puji operasi itu sebagai “kemenangan besar”, tapi sekarang, rencana tesnya malah beri Iran amunisi untuk narasi korban.
Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei ikut angkat suara, sebut ancaman Trump “kosong dan kontraproduktif”, ingatkan bahwa tekanan militer tak akan hentikan kemajuan Iran. Di parlemen Iran, anggota Majlis seperti Mohammad Bagher Ghalibaf dorong percepatan pengayaan uranium hingga 60 persen—tingkat yang dekat ambang senjata—sebagai balasan. Menteri Pertahanan Iran bahkan ancam target basis AS di Teluk Persia jika konflik nuklir meledak. Reaksi ini tak heran: Iran lihat pengujian AS sebagai lisensi untuk programnya sendiri, terutama setelah IAEA laporkan stok uranium Tehran sudah capai ribuan kilogram. Bagi rezim di Tehran, ini peluang kuatkan solidaritas domestik, di mana Trump jadi musuh bersama yang gampang digambarkan sebagai penjajah.
Dampak Regional dan Global yang Mengkhawatirkan
Reaksi dari Rusia dan Iran tak berdiri sendiri; ia riak ke seluruh papan catur dunia. Di Moskow, pasar saham turun 1,5 persen pagi itu, sementara harga minyak naik karena khawatir gangguan pasok dari sanksi baru. NATO, yang Trump sering kritik, desak dialog darurat, dengan Sekjen Jens Stoltenberg bilang langkah AS bisa erosi Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty. Di Timur Tengah, sekutu Iran seperti Hizbullah di Lebanon perkuat retorika anti-AS, sementara Arab Saudi—mitra AS—ekspres kekhawatiran soal proliferasi regional.
Secara lebih luas, ini uji komitmen non-proliferasi. Rusia dan Iran, meski beda ideologi, saling dukung dalam forum seperti BRICS, di mana keduanya sebut Barat sebagai sumber ketidakstabilan. Bagi Trump, reaksi ini mungkin yang diinginkan: tekanan balik untuk negosiasi lebih baik. Tapi analis bilang ini boomerang—bisa dorong kolaborasi nuklir rahasia antara Moskow dan Tehran, seperti transfer teknologi rudal. Di PBB, sidang Dewan Keamanan dijadwalkan minggu depan, dengan China dan India diharap mediasi. Yang jelas, reaksi ini tunjukkan dunia nuklir tak lagi dua kutub; sekarang multipolar, di mana satu pernyataan bisa picu rantai balasan tak terduga.
Kesimpulan
Reaksi Rusia dan Iran terhadap rencana uji coba nuklir Trump adalah campuran peringatan tegas dan kutukan moral, mencerminkan ketakutan akan kembalinya era lomba senjata. Dari Peskov yang hati-hati di Kremlin hingga Khamenei yang menuduh hipokrasi di Tehran, keduanya tunjukkan kesiapan balas tanpa provokasi berlebih—setidaknya untuk sekarang. Di 2025 ini, dengan Ukraina dan Gaza masih panas, langkah Trump jadi pengingat rapuhnya keseimbangan global. Harapannya, dialog di PBB bisa redakan ketegangan sebelum ledakan pertama. Kalau tidak, reaksi ini hanyalah awal dari spiral yang bisa ubah perdamaian jadi kenangan. Dunia butuh lebih dari kata-kata; butuh komitmen nyata untuk hindari bencana yang tak perlu.