Hamas Perluas Kendali Atas Gaza

hamas-perluas-kendali-atas-gaza

Hamas Perluas Kendali Atas Gaza. Pada 15 November 2025, hampir lima minggu setelah gencatan senjata rapuh antara Israel dan Hamas, kelompok militan Palestina itu justru semakin mengokohkan cengkeramannya atas Jalur Gaza. Di tengah upaya internasional untuk membangun masa depan pasca-perang, Hamas diam-diam merebut kembali kendali atas distribusi bantuan, pengaturan harga barang pokok, dan bahkan pemungutan biaya impor. Langkah ini memicu kekhawatiran di kalangan warga Gaza yang lelah perang, serta para diplomat yang melihatnya sebagai penghalang rekonstruksi. Meski gencatan senjata telah memungkinkan aliran bantuan lebih lancar, Hamas memanfaatkannya untuk memperluas pengaruh, mengabaikan tuntutan demiliterisasi. Apa yang mendorong ekspansi ini, dan bagaimana dampaknya bagi 2,3 juta penduduk Gaza? Mari kita telusuri dinamika yang sedang berubah di wilayah yang hancur ini. BERITA TERKINI

Latar Belakang Gencatan Senjata dan Penguatan Hamas: Hamas Perluas Kendali Atas Gaza

Gencatan senjata yang dimulai akhir September 2025 lahir dari negosiasi melelahkan yang melibatkan mediator seperti Mesir dan Qatar. Sebagai bagian dari kesepakatan, Hamas melepaskan sebagian besar sandera Israel yang masih hidup, ditukar dengan ratusan tahanan Palestina, termasuk 250 narapidana seumur hidup. Ini membuka pintu bagi bantuan kemanusiaan yang lebih besar, dengan truk bantuan memasuki Gaza setiap hari untuk pertama kalinya sejak Oktober 2023. Namun, di balik jeda pertempuran, kekosongan kekuasaan mulai terisi oleh Hamas, yang sebelumnya sempat kehilangan sebagian kendali akibat serangan Israel.

Sebelum gencatan, operasi militer Israel telah meruntuhkan sebagian infrastruktur Hamas, termasuk terowongan dan markas di utara Gaza. Tapi kelompok itu, yang didirikan pada 1987 sebagai cabang Ikhwanul Muslimin, terbukti tangguh. Dengan cadangan senjata yang tersisa dan jaringan pendukung di kalangan penduduk lokal, Hamas cepat mereorganisasi. Laporan dari warga menunjukkan bahwa pasukan keamanan Hamas kini berpatroli lebih sering di Rafah dan Khan Younis, memastikan loyalitas di selatan. Faktor kunci adalah kelelahan Israel pasca-perang 13 bulan, yang membuat pasukan mereka mundur dari sebagian wilayah, meninggalkan ruang bagi Hamas untuk kembali mendominasi. Para analis melihat ini sebagai strategi klasik: gunakan jeda untuk membangun kembali, sambil menekan rival internal seperti faksi Fatah yang lemah di Gaza. Hasilnya, Hamas bukan lagi sekadar kelompok bersenjata, tapi entitas yang mengatur kehidupan sehari-hari, meski dengan biaya sosial yang tinggi.

Mekanisme Ekspansi Kendali Hamas: Hamas Perluas Kendali Atas Gaza

Hamas memperluas pengaruhnya melalui pendekatan praktis yang menyentuh urat nadi ekonomi Gaza yang morat-marit. Salah satu langkah paling nyata adalah pengawasan ketat atas impor barang. Setiap truk bantuan yang masuk melalui perbatasan Rafah kini harus melewati pos pemeriksaan Hamas, di mana petugas mereka memverifikasi muatan dan memungut biaya “administrasi” untuk rokok, bahan bakar, dan bahkan ayam segar. Harga barang pokok pun diatur ulang: daging unggas dibatasi agar tak melebihi harga tertentu, sementara impor mewah dilarang untuk mencegah spekulasi. Langkah ini, meski diklaim untuk melindungi warga dari inflasi, sebenarnya memperkuat monopoli Hamas atas pasar hitam yang selama perang memberi mereka pendapatan miliaran dolar.

Di lapangan, ekspansi ini terlihat dari peningkatan patroli dan propaganda. Hamas mendistribusikan bantuan langsung ke keluarga pendukungnya, sambil mengancam sanksi bagi yang menentang. Di utara Gaza, yang paling hancur, kelompok itu merekrut pemuda lokal untuk tim keamanan, menjanjikan gaji bulanan dari dana donasi eksternal. Ini kontras dengan krisis kemanusiaan: 90% penduduk Gaza bergantung pada bantuan, dengan 80% infrastruktur listrik rusak. Warga seperti seorang ibu di Jabalia mengeluh bahwa meski makanan mengalir, distribusinya penuh nepotisme, membuat keluarga non-partisan kelaparan lebih lama. Para pengamat memperingatkan bahwa tanpa pengawasan internasional, Hamas bisa membangun kembali jaringan senjata di bawah selimut rekonstruksi, mengubah Gaza menjadi benteng yang lebih kuat daripada sebelumnya.

Respons Internasional dan Tantangan Diplomatik

Upaya global untuk membendung ekspansi Hamas menghadapi hambatan besar. Amerika Serikat, di bawah transisi pemerintahan baru, mengusulkan pembagian Gaza menjadi “zona hijau” di utara—di bawah kendali militer Israel dan pasukan internasional—untuk rekonstruksi aman. Rencana ini mencakup demiliterisasi penuh dan peran Otoritas Palestina (PA) yang direformasi untuk pemerintahan sipil. Tapi proposal itu terhenti di PBB setelah Rusia memveto usulan pasukan penjaga perdamaian, menyebutnya sebagai “intervensi imperialis”. Moskow, yang mendukung Hamas secara diam-diam melalui bantuan Iran, melihat gencatan sebagai peluang bagi sekutu mereka untuk bertahan.

Israel, sementara itu, mempertahankan blokade parsial, membiarkan bantuan masuk tapi menolak pasukan PA di Gaza untuk menghindari “kembalinya teror”. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menekankan bahwa Hamas tetap ancaman, meski pasukannya mundur. Di sisi lain, Uni Eropa dan negara-negara Arab seperti Mesir mendorong dialog, tapi tanpa tekanan ekonomi baru, suara mereka lemah. Dampaknya: bantuan senilai miliaran dolar tertahan, memperburuk kelaparan di Gaza. Aktivis hak asasi manusia menyerukan sanksi terhadap pemimpin Hamas, tapi prioritas utama adalah mencegah perang baru. Eskalasi ini juga memengaruhi wilayah lebih luas, dengan ketegangan di Tepi Barat yang melonjak akibat serangan balasan.

Kesimpulan

Ekspansi kendali Hamas atas Gaza pada November 2025 adalah paradoks pahit dari gencatan senjata yang rapuh: jeda perang justru memberi nafas bagi kelompok militan untuk bangkit lebih kuat. Dari pengaturan impor hingga patroli jalanan, langkah mereka menyentuh kehidupan sehari-hari, tapi dengan harga penderitaan warga yang tak tertahankan. Respons internasional, yang terpecah antara proposal AS dan veto Rusia, menunjukkan betapa sulitnya membangun perdamaian tanpa kesepakatan komprehensif. Bagi Gaza, masa depan tergantung pada keseimbangan antara demiliterisasi dan bantuan cepat—mungkin melalui peran PA yang lebih besar atau pengawasan multilateral. Jika dibiarkan, dominasi Hamas bisa memicu siklus kekerasan baru. Namun, di tengah puing-puing, suara warga yang haus damai tetap menjadi harapan terkuat, mendorong dunia untuk bertindak bijak sebelum terlambat.

 

BACA SELENGKAPNYA DI…

admin

admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *