Militer AS Menembak Kapal yang Diduga Bawa Narkoba Lagi. Militer AS kembali beraksi di perairan Karibia dan Pasifik Timur. Pada 4 Desember 2025, Angkatan Laut AS melakukan serangan ke-22 terhadap kapal yang dicurigai membawa narkoba, menewaskan empat orang di kapal semi-submersible di Pasifik Timur. Ini bagian dari kampanye agresif administrasi Trump sejak September, yang sudah tewaskan 87 orang di 22 serangan serupa. Yang bikin gaduh: serangan ini datang pasca-briefing rahasia di Kongres soal insiden September, di mana militer AS dituduh tembak penyintas kapal yang sudah tenggelam. Dengan 10.000 tentara dan puluhan kapal dikerahkan, operasi ini janji hentikan kartel, tapi kritik bilang ini lebih mirip perang daripada penegakan hukum. INFO SLOT
Serangan Terbaru dan Pola yang Berulang: Militer AS Menembak Kapal yang Diduga Bawa Narkoba Lagi
Serangan 4 Desember ini cepat dan mematikan. Pesawat tak berawak militer AS identifikasi kapal di rute narkoba terkenal, lalu rudal presisi hantam targetnya. Southern Command konfirmasi kapal itu bawa narkotika, tapi detail identitas korban belum dirilis—seperti biasa. Ini serangan pertama dalam seminggu, setelah jeda singkat pasca-kontroversi. Pola serangannya mirip: mulai September, militer AS ganti peran Coast Guard. Dulu, penyelundup ditangkap dan diadili sebagai kriminal. Kini, mereka ditarget sebagai “narco-terroris” berdasarkan opini hukum DOJ yang bilang presiden boleh serang 24 kartel sebagai pertahanan diri. Hasilnya, 23 kapal hancur, termasuk 11 di Karibia dan 12 di Pasifik. Trump sendiri sering posting video serangan di media sosialnya, sebut ini “perlindungan homeland prioritas utama”.
Kontroversi Insiden September: Tembak Penyintas: Militer AS Menembak Kapal yang Diduga Bawa Narkoba Lagi
Briefing Kongres 4 Desember jadi sorotan. Anggota DPR Demokrat seperti Jim Himes dan Adam Smith geleng-geleng kepala setelah lihat video serangan 2 September di Karibia. Serangan pertama hantam kapal Tren de Aragua dari Venezuela, bunuh sembilan orang. Dua penyintas naik lagi ke puing-puing, lalu serangan kedua tewaskan mereka juga. Laporan bilang penyintas itu hubungi “mothership” lain, jadi dianggap ancaman berkelanjutan. Admiral Frank “Mitch” Bradley, yang perintah serangan, bilang keputusan itu sesuai aturan operasi—mereka identik sebagai narco-terroris. Tapi Demokrat sebut ini “tidak beralasan”, karena kapal sudah mundur dari AS saat diserang. Pete Hegseth, Menteri Pertahanan, akui nonton serangan pertama secara real-time, tapi bilang serangan kedua “kabut perang”. Video itu bocor ke media, picu tuduhan pelanggaran hak asasi.
Respons Hukum dan Internasional
Di AS, Kongres ribut. Senat dua kali tolak resolusi batasi wewenang Trump terhadap Venezuela atau serangan kapal narkoba. Demokrat tuntut konsultasi penuh, sementara Republik bela sebagai “perlindungan warga dari racun”. Hukumnya goyah: DOJ bilang serangan legal sebagai self-defense, tapi kritikus sebut ini langgar hukum internasional karena target di perairan internasional tanpa bukti kuat. Internasionalnya lebih panas. Inggris hentikan bagi info intelijen soal kapal narkoba, tak mau komplotan aksi yang dianggap ilegal. Venezuela dan Kolombia bantah tuduhan, sebut Trump ciptakan dalih invasi. Maduro ancam balas, sementara pemimpin Kolombia kritik serangan tewaskan warga sipil tak bersalah. Puerto Rico, di garis depan, justru puji operasi karena kurangi banjir narkoba. Operasi ini juga libatkan 10.000 tentara, pesawat, dan kapal—biaya miliaran, tapi klaim Trump: “Kartel tak punya kesempatan lawan militer AS”.
Kesimpulan
Serangan militer AS ke kapal narkoba lagi-lagi tunjukkan pendekatan keras Trump: tewaskan dulu, tanya belakangan. Dengan 87 nyawa hilang sejak September, operasi ini kurangi alur narkoba ke AS, tapi harga mahal—kritik hukum, ketegangan sekutu, dan tuduhan perang ilegal. Briefing Kongres kemarin tak redakan api; malah buka pintu investigasi lebih dalam. Di era fentanyl yang bunuh ribuan warga AS tiap tahun, langkah ini punya dukungan, tapi tanpa transparansi, bisa picu krisis diplomatik besar. Trump janji fase baru di darat Venezuela “segera”, tapi pertanyaannya: sampai kapan “perlindungan” ini jadi pembenaran perang? Amerika aman, tapi dunia gelisah. Tetap awasi Karibia—gelombang berikutnya bisa lebih ganas.