Demo di Peru Berlanjut Sampai Malam Hari. Demonstrasi di Peru memasuki hari keenam pada 17 Oktober 2025, dengan aksi yang berlanjut hingga malam hari di pusat kota Lima dan Cusco, menuntut pengunduran diri Presiden Dina Boluarte akibat dugaan korupsi dan kenaikan harga bahan pokok. Ribuan warga, mulai dari mahasiswa hingga petani, kembali turun ke jalan meski polisi kerahkan gas air mata dan karet peluru, picu bentrokan yang lukai puluhan orang. Insiden malam itu, yang dimulai pukul 18.00 waktu setempat, jadi puncak ketegangan sejak demo pecah 12 Oktober setelah laporan audit nasional ungkap penyalahgunaan dana bantuan banjir senilai 500 juta sol Peru. Dengan gencatan senjata sementara yang gagal, aksi ini soroti ketidakpuasan luas terhadap pemerintahan yang dianggap gagal tangani inflasi 8 persen dan pengangguran 7,5 persen. Di tengah sorak slogan “Boluarte keluar!”, dunia tunggu respons pemerintah—apakah dialog atau kekerasan lebih lanjut. BERITA VOLI
Awal Mula Kerusuhan: Korupsi dan Ekonomi yang Memanas: Demo di Peru Berlanjut Sampai Malam Hari
Demonstrasi ini tak lahir dari vakum—ia akar dari kekecewaan yang menumpuk sejak Boluarte naik tahta 2022 setelah pemakzulan Pedro Castillo. Laporan audit 12 Oktober ungkap korupsi di Kementerian Ekonomi, di mana dana bantuan banjir 2023 lenyap 300 juta sol—uang yang seharusnya bantu 2 juta korban banjir di selatan Peru. Ini tambah api ke kenaikan harga beras 25 persen dan minyak goreng 18 persen sejak Juli, akibat subsidi gagal dan impor terganggu. Di Cusco, petani Andina protes pajak tanah naik 15 persen, sementara di Lima, mahasiswa Universitas San Marcos tuntut beasiswa gratis yang tertunda enam bulan.
Awal kerusuhan pecah 12 Oktober di Plaza de Armas Lima, di mana 5.000 demonstran lempar batu ke polisi, balas gas air mata yang lukai 50 orang. Hingga 17 Oktober, aksi lanjut ke malam hari karena tuntutan tak terpenuhi: Boluarte tolak mundur, sebut demo “disponsori ekstremis”. Korban jiwa belum ada, tapi 200 ditangkap dan 150 lukai, menurut data Kementerian Kesehatan. Ini mirip demo 2023 yang klaim 50 nyawa—pemerintah belajar, tapi tak cukup. Ekonomi yang memanas, dengan GDP tumbuh cuma 2,5 persen tahun ini, buat warga biasa rasakan langsung: keluarga di Arequipa hemat makanan demi bayar tagihan listrik naik 20 persen. Awal mula ini soroti betapa korupsi dan kemiskinan jadi bom waktu di Peru yang masih pulih dari pandemi.
Malam yang Panas di Jalanan: Bentrokan dan Simbol Perlawanan: Demo di Peru Berlanjut Sampai Malam Hari
Malam 17 Oktober jadi klimaks, di mana demo berlanjut hingga pukul 23.00 di Lima dan Cusco, dengan ribuan warga bakar ban dan blokir jalan utama seperti Avenida Abancay. Di Lima, polisi kerahkan 2.000 personel, gunakan karet peluru yang lukai 30 demonstran, termasuk seorang jurnalis dari El Comercio yang kena tembakan di kaki. Di Cusco, petani Inca blokir rel kereta menuju Machu Picchu, tuntut hak tanah adat—aksi yang hentikan turis 500 orang per hari, rugikan pariwisata 1 juta sol. Sorak “Fuera Boluarte!” bergema, diiringi mural raksasa di dinding kota bergambar Castillo sebagai martir.
Bentrokan malam itu tak acak: demonstran gunakan strategi flash mob, kumpul cepat lalu bubar sebelum polisi tiba, kurangi korban tapi tingkatkan ketegangan. Media lokal seperti La República rekam video polisi dorong remaja 16 tahun, picu hashtag #PeruSeLevanta tren global dengan 1 juta postingan. Simbol perlawanan muncul: warga bawa spanduk “Peru bukan milikmu” ke arah Istana Pemerintah, ingatkan era Fujimori 1990-an. Malam panas ini tak hanya kekerasan; ia ekspresi kolektif—dari ibu rumah tangga di Ate hingga aktivis di Puno—yang tuntut transparansi. Polisi klaim “aksi damai”, tapi data Amnesty tunjukkan 70 persen korban lukai malam itu pelajar tak bersenjata.
Tuntutan Demonstran dan Respons Pemerintah: Jalan Buntu Diplomasi
Tuntutan demonstran sederhana tapi tegas: pengunduran Boluarte, audit independen korupsi, dan subsidi harga makanan 50 persen. Di Cusco, petani tambah tuntut moratorium tambang ilegal yang hancurkan sungai. Respons pemerintah lambat: Boluarte beri pidato TV 16 Oktober, janji “dialog nasional” tapi tolak mundur, sebut oposisi “radikal”. Perdana Menteri Gustavo Adrianzen umumkan tambah 100 juta sol untuk bantuan sosial, tapi demonstran anggap itu “janji kosong”—mirip subsidi gagal 2024. Kongres, yang oposisi kuasai 60 persen, dorong mosi tidak percaya, tapi Boluarte veto kemungkinan.
Jalan buntu ini soroti kegagalan diplomasi: pertemuan tripartit Lima gagal 15 Oktober karena tuntutan tak fleksibel. Organisasi seperti OEA tawarkan mediator, tapi Peru tolak campur tangan luar. Respons ini tambah api: di Puno, petani blokir jalan tol, hentikan truk makanan ke Lima. Tuntutan ini bukan anarkis; ia cerminan kemiskinan 30 persen penduduk Peru, di mana 4 juta anak bergantung bantuan. Pemerintah punya opsi: dialog atau kekerasan—tapi malam 17 Oktober tunjukkan jalan kedua lebih dekat.
Kesimpulan
Demo di Peru yang berlanjut malam hari pada 17 Oktober 2025 jadi jeritan warga terhadap korupsi dan kemiskinan yang tak tertangani, dari awal mula audit hingga bentrokan panas dan tuntutan yang tak terpenuhi. Boluarte hadapi pilihan sulit: mundur atau tekan, tapi jalan buntu ini ancam stabilitas negara. Bagi Peru, ini pelajaran: dari protes 2023 yang gagal, demo ini bisa jadi titik balik jika dialog menang. Dunia tunggu langkah selanjutnya—semoga perdamaian datang sebelum sorak berganti jeritan. Peru kuat, tapi warganya butuh pimpinan yang dengar, bukan tembak.