Dana Bansos Rp 2,1 Triliun Nganggur di 10 Juta Rekening. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap temuan mengejutkan pada Juli 2025: sebanyak Rp2,1 triliun dana bantuan sosial (bansos) mengendap di 10 juta rekening yang tidak aktif selama lebih dari tiga tahun. Rekening-rekening ini, yang seharusnya menyalurkan bantuan kepada masyarakat miskin, justru menjadi “sarang” dana nganggur. Temuan ini memicu pertanyaan tentang efektivitas penyaluran bansos dan potensi penyalahgunaan. Artikel ini mengulas alasan dana bansos tidak tersalurkan, apakah ini indikasi korupsi, dan apakah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah turun tangan menangani kasus ini. BERITA LAINNYA
Kenapa Dana Bansos Ini Tidak Dibagikan?
Dana bansos sebesar Rp2,1 triliun mengendap karena jutaan rekening penerima ternyata tidak aktif, alias dormant, selama lebih dari tiga tahun. Banyak penerima tidak mengambil atau menggunakan dana tersebut, menunjukkan ketidaktepatan sasaran dalam penyaluran bansos. Sebagian besar rekening ini terkait dengan Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), yang seharusnya membantu keluarga miskin. Faktor utama adalah data penerima yang tidak mutakhir, menyebabkan bantuan diberikan kepada orang yang sudah tidak memenuhi syarat, seperti mereka yang telah sejahtera atau bahkan meninggal dunia. Selain itu, transisi penyaluran bansos dari PT Pos ke bank-bank Himbara membutuhkan pembukaan rekening baru, yang sering terhambat oleh kurangnya koordinasi dan verifikasi data. Akibatnya, dana bansos tidak sampai ke tangan yang berhak dan hanya mengendap di rekening.
Apakah Ini Merupakan Suatu Korupsi?
Meskipun belum terdapat bukti fisik secara langsung bahwa dana Rp 2,1 triliun ini dikorupsi, PPATK menemukan indikasi penyimpangan yang sangat serius. Sebanyak 150 ribu dari 10 juta rekening dormant diduga digunakan untuk menampung dana ilegal, termasuk aktivitas perjudian online, dengan transaksi mencapai Rp957 miliar melalui 7,5 juta transaksi pada 2024. Hal ini menunjukkan potensi penyalahgunaan, seperti jual beli rekening atau peretasan. Kelemahan verifikasi data dan pengawasan lemah menjadi celah bagi praktik terorganisir yang memanfaatkan rekening dormant. Namun, tidak semua kasus mengendapnya dana bansos otomatis merupakan korupsi; sebagian besar disebabkan oleh inefisiensi sistem, seperti data penerima yang tidak diperbarui dan kurangnya edukasi kepada penerima untuk mengaktifkan rekening. Meski begitu, temuan ini tetap memicu kecurigaan adanya praktik tidak wajar.
Apakah KPK Sudah Turun Atas Terjadinya Kasus Ini?
Hingga Juli 2025, belum ada pernyataan resmi dari KPK yang mengkonfirmasi penyelidikan langsung terhadap kasus dana bansos Rp2,1 triliun yang mengendap. Namun, KPK diketahui telah berkoordinasi dengan Kementerian Sosial (Kemensos) sejak awal 2025 untuk memperbaiki tata kelola bansos, terutama setelah kasus korupsi bansos Covid-19 pada 2020. PPATK telah menyerahkan data temuan ini kepada Kemensos untuk evaluasi lebih lanjut, dan Menteri Sosial Saifullah Yusuf menegaskan akan memperbaiki data penerima. KPK kemungkinan akan menunggu bukti konkret adanya tindak pidana sebelum mengambil langkah. Sementara itu, PPATK terus memantau transaksi mencurigakan dan mendorong reformasi sistem penyaluran untuk mencegah penyalahgunaan lebih lanjut.
Kesimpulan: Dana Bansos Rp 2,1 Triliun Nganggur di 10 Juta Rekening
Temuan PPATK tentang Rp2,1 triliun dana bansos yang mengendap di 10 juta rekening menyoroti masalah serius dalam penyaluran bantuan sosial di Indonesia. Ketidaktepatan data, inefisiensi sistem, dan indikasi penyalahgunaan seperti perjudian online menjadi penyebab utama. Meski belum ada bukti korupsi langsung, potensi penyimpangan sistemik tidak bisa diabaikan. Koordinasi antara PPATK, Kemensos, dan potensi keterlibatan KPK di masa depan diharapkan dapat memperbaiki akurasi penyaluran bansos, memastikan bantuan sampai kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan, dan mencegah kerugian negara lebih lanjut.